Panduan Lengkap Contoh Surat Perjanjian Sah: Tips & Template untuk Bisnis & Pribadi
Dalam kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, kita sering kali terlibat dalam berbagai bentuk perjanjian. Mulai dari janji sederhana antara teman sampai transaksi besar seperti jual beli properti atau kerjasama bisnis. Nah, ketika menyangkut hal-hal penting atau bernilai tinggi, perjanjian lisan saja tentu tidak cukup kuat. Di sinilah peran surat perjanjian tertulis menjadi krusial. Surat perjanjian ini bukan sekadar selembar kertas berisi tulisan, melainkan dokumen legal yang mengikat para pihak yang terlibat.
Image just for illustration
Memiliki surat perjanjian yang sah di mata hukum memberikan kepastian dan perlindungan bagi semua pihak. Jika suatu saat terjadi perselisihan atau salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, dokumen inilah yang akan menjadi bukti utama dan pegangan hukum. Tanpa surat perjanjian yang kuat, potensi konflik dan kerugian bisa jauh lebih besar. Oleh karena itu, memahami apa saja yang membuat sebuah surat perjanjian itu “sah” secara hukum adalah langkah pertama yang sangat penting.
Kenapa Perjanjian Tertulis Jadi Penting Banget?¶
Meskipun dalam beberapa kasus perjanjian lisan bisa saja diakui hukum, perjanjian tertulis punya keunggulan telak. Buktinya lebih kuat, detail hak dan kewajiban tercatat jelas, dan mengurangi risiko salah paham atau lupa. Bayangin aja kalau kamu pinjamin uang dalam jumlah besar tanpa bukti tertulis, pas nagih bisa aja si peminjam ngeles atau pura-pura lupa jumlahnya.
Surat perjanjian tertulis meminimalkan area abu-abu. Semua kesepakatan, tenggat waktu, jumlah, kondisi, dan konsekuensi pelanggaran bisa dituliskan dengan rinci. Ini membuat semua pihak punya panduan yang sama dan jelas mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang berhak didapatkan. Intinya, perjanjian tertulis itu seperti rambu-rambu jalan yang disepakati bersama, bikin perjalanan ‘hubungan’ hukum jadi lebih aman dan terprediksi.
Pilar Utama: Apa yang Membuat Perjanjian Sah di Mata Hukum Indonesia?¶
Di Indonesia, syarat sahnya sebuah perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), tepatnya di Pasal 1320. Pasal ini adalah ‘kitab suci’ kalau kamu mau bikin perjanjian yang punya kekuatan hukum. Ada empat syarat mutlak yang harus dipenuhi. Kalau salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka nasib perjanjianmu bisa jadi batal atau bisa dibatalkan.
Kesepakatan Mereka yang Mengikatkan Diri¶
Syarat pertama ini intinya adalah “deal” atau persetujuan dari semua pihak yang terlibat. Tapi, kesepakatan ini harus lahir dari kehendak yang bebas, tanpa ada paksaan, kekhilafan (kesalahan fatal), atau penipuan. Semua pihak harus setuju atas substansi perjanjian itu sendiri.
Misalnya, kalau kamu dipaksa tanda tangan perjanjian hutang dengan ancaman, atau kamu menandatangani karena ditipu soal objek perjanjiannya (misal: dibilang tanah A padahal tanah B), maka kesepakatan itu dianggap tidak sah. Perjanjian yang lahir dari kesepakatan yang tidak bebas ini masuk kategori perjanjian yang dapat dibatalkan. Artinya, perjanjian itu sah sampai ada pihak yang menggugat ke pengadilan dan meminta pengadilan membatalkannya.
Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan¶
Syarat kedua berkaitan dengan subjek hukumnya, yaitu siapa saja yang berhak atau “cakap” membuat perjanjian. Secara hukum, tidak semua orang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum, termasuk membuat perjanjian. Orang yang dianggap cakap adalah mereka yang sudah dewasa (umumnya 18 tahun atau sudah menikah) dan berakal sehat.
Sebaliknya, ada pihak-pihak yang dianggap tidak cakap, seperti anak di bawah umur, orang di bawah pengampuan (karena sakit jiwa, boros, dll.), atau orang yang dinyatakan pailit (dalam beberapa perjanjian). Jika perjanjian dibuat oleh pihak yang tidak cakap, maka perjanjian tersebut juga masuk kategori dapat dibatalkan. Penting banget untuk memeriksa identitas dan status hukum pihak lain sebelum bersepakat.
Suatu Pokok Persoalan Tertentu¶
Syarat ketiga ini menekankan bahwa objek atau subjek perjanjian harus jelas dan tertentu. Apa yang diperjanjikan itu harus spesifik, bisa diidentifikasi, dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Misalnya, kalau kamu mau jual beli mobil, harus jelas mobilnya merk apa, tipe apa, tahun berapa, nomor polisinya berapa, dsb.
Objek perjanjian juga tidak boleh sesuatu yang mustahil secara fisik maupun legal. Kamu tidak bisa membuat perjanjian untuk menjual bulan atau membuat perjanjian untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum. Jika objek perjanjian tidak jelas atau tidak memungkinkan, maka perjanjian itu masuk kategori perjanjian yang batal demi hukum. Artinya, perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sejak awal secara hukum.
Suatu Sebab yang Halal¶
Syarat terakhir ini terkait dengan tujuan atau alasan dibuatnya perjanjian. Sebab atau kausa perjanjian harus halal, artinya tidak melanggar undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Alasan di balik perjanjian itu yang dilihat.
Contoh, perjanjian untuk menyewa rumah guna dijadikan tempat perjudian adalah perjanjian dengan sebab yang tidak halal. Perjanjian jual beli senjata api ilegal juga punya sebab yang tidak halal. Perjanjian seperti ini, yang sebabnya bertentangan dengan hukum atau moral, statusnya adalah batal demi hukum. Jadi, meskipun semua syarat lain terpenuhi, kalau tujuannya jelek di mata hukum, perjanjianmu sia-sia.
Untuk memudahkan memahaminya, mari kita lihat dalam bentuk tabel sederhana:
Syarat Sah Perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) | Penjelasan Singkat | Akibat Jika Dilanggar |
---|---|---|
1. Kesepakatan | Adanya persetujuan bebas tanpa paksaan, khilaf, atau penipuan. | Dapat Dibatalkan (oleh Pengadilan) |
2. Kecakapan | Pihak yang berjanji cakap secara hukum (dewasa, tidak di bawah pengampuan). | Dapat Dibatalkan (oleh Pengadilan) |
3. Pokok Persoalan Tertentu | Objek atau subjek perjanjian jelas, tertentu, dan memungkinkan. | Batal Demi Hukum (dianggap tidak pernah ada) |
4. Sebab yang Halal | Tujuan atau kausa perjanjian tidak melanggar hukum/kesusilaan. | Batal Demi Hukum (dianggap tidak pernah ada) |
Intinya, syarat nomor 1 dan 2 adalah syarat subjektif (berkaitan dengan subjek/orang), sementara syarat nomor 3 dan 4 adalah syarat objektif (berkaitan dengan objek/isi perjanjian). Pelanggaran syarat subjektif membuat perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan pelanggaran syarat objektif membuat perjanjian batal demi hukum. Ini perbedaan fundamental dalam hukum kontrak.
Struktur Umum Surat Perjanjian yang Baik dan Benar¶
Setelah paham pondasinya, sekarang kita bedah struktur atau anatomi surat perjanjian yang lazim digunakan. Struktur ini penting untuk memastikan semua elemen kunci termuat dan dokumennya rapi serta mudah dipahami.
Bagian Awal: Identifikasi Para Pihak¶
Ini bagian paling depan. Kamu harus menuliskan judul perjanjiannya (misal: “Surat Perjanjian Sewa Rumah”), nomor perjanjian (jika ada sistem penomoran), tanggal dan tempat pembuatan perjanjian. Lalu, identifikasi secara lengkap para pihak yang terlibat. Minimal mencantumkan:
- Nama lengkap
- Nomor identitas (KTP/Paspor)
- Alamat lengkap
- Pekerjaan/Jabatan (jika relevan)
- Dalam hal perusahaan, cantumkan nama perusahaan, bentuk badan hukum (PT, CV, dll.), alamat, nama perwakilan yang berhak bertindak (Direktur, Kuasa Hukum), dan dasar kewenangannya (misal: Akta Pendirian, Surat Kuasa).
Identitas yang jelas menghindari sengketa di kemudian hari mengenai siapa sebenarnya pihak yang terikat perjanjian. Bayangkan jika nama salah atau alamat tidak jelas, bagaimana cara menagih atau melayangkan somasi kalau ada masalah?
Konsiderans (Opsional tapi Disarankan)¶
Konsiderans atau latar belakang berisi penjelasan singkat mengapa perjanjian ini dibuat. Misalnya, “Bahwa Para Pihak berkeinginan untuk mengadakan kerjasama dalam bidang X…”, atau “Bahwa Pihak Pertama adalah pemilik sah aset Y, dan Pihak Kedua berkeinginan untuk menyewa aset tersebut…”. Bagian ini memang tidak wajib secara hukum untuk sahnya perjanjian, tapi sangat membantu untuk memahami konteks dan niat para pihak saat perjanjian dibuat. Ini bisa jadi alat interpretasi yang berguna jika ada klausul yang ambigu.
Klausul-Klausul Inti (Hak dan Kewajiban)¶
Ini adalah ‘daging’ dari perjanjian, isinya pasal-pasal yang mengatur secara detail hak dan kewajiban masing-masing pihak. Tuliskan dengan jelas apa yang harus dilakukan oleh Pihak Pertama, apa yang harus dilakukan oleh Pihak Kedua, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Bagian ini bisa sangat bervariasi tergantung jenis perjanjiannya.
Contoh:
* Perjanjian Jual Beli: Deskripsi barang, harga, cara pembayaran, kapan serah terima barang, garansi.
* Perjanjian Sewa: Objek sewa, jangka waktu sewa, biaya sewa, jadwal pembayaran, tanggung jawab perawatan, penggunaan objek sewa.
* Perjanjian Kerjasama: Lingkup kerjasama, kontribusi masing-masing pihak, pembagian keuntungan/kerugian, jangka waktu, peran dan tanggung jawab spesifik.
Pastikan setiap aspek penting dari kesepakatanmu tertuang di sini dengan bahasa yang spesifik dan tidak menimbulkan banyak tafsir. Hindari kata-kata yang terlalu umum atau multitafsir.
Klausul Tambahan yang Penting¶
Selain hak dan kewajiban utama, ada beberapa klausul ‘standar’ yang penting dicantumkan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan di masa depan.
- Force Majeure (Keadaan Kahar): Mengatur apa yang terjadi jika ada kejadian di luar kuasa manusia (bencana alam, perang, terorisme) yang menghalangi pelaksanaan perjanjian. Apakah perjanjian batal, ditunda, atau ada penyesuaian?
- Penyelesaian Sengketa: Ini krusial! Bagaimana jika ada perselisihan? Apakah diselesaikan secara musyawarah mufakat dulu? Lalu kalau gagal, apakah melalui mediasi, arbitrase, atau langsung ke pengadilan? Pengadilan mana yang berwenang? Mencantumkan klausul ini memberikan kejelasan jalur penyelesaian jika masalah muncul.
- Kerahasiaan (Confidentiality): Jika perjanjian melibatkan pertukaran informasi sensitif, klausul kerahasiaan melindungi informasi tersebut agar tidak disalahgunakan.
- Pengakhiran Perjanjian: Dalam kondisi apa perjanjian ini bisa berakhir? Apakah karena habis masa berlaku, kesepakatan bersama, atau karena pelanggaran (wanprestasi) oleh salah satu pihak? Bagaimana prosedur pengakhirannya?
- Perubahan Perjanjian (Amendment): Bagaimana cara mengubah atau menambahkan ketentuan dalam perjanjian ini di kemudian hari? Biasanya harus dengan addendum atau amandemen tertulis yang ditandatangani semua pihak.
Penutup dan Pengesahan¶
Bagian ini biasanya berisi pernyataan bahwa perjanjian dibuat dengan sadar dan tanpa paksaan, ditandatangani oleh para pihak pada tanggal dan tempat yang disebutkan di awal (atau disebutkan lagi di sini).
- Tanda Tangan: Semua pihak yang mengikatkan diri harus membubuhkan tanda tangan di atas materai (jika diperlukan). Tanda tangan ini bukti fisik persetujuan mereka.
- Materai: Fungsi materai adalah sebagai bukti pembayaran pajak atas dokumen dan paling utama, agar dokumen tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Jumlah materai harus sesuai dengan peraturan yang berlaku dan nilai transaksi (untuk perjanjian perdata). Penting: Perjanjian tanpa materai tetap sah secara hukum perdata jika memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata, namun tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan sebelum dimateraikan kemudian (nazegelen). Jadi, bubuhkan materai yang cukup!
- Saksi (Opsional): Kehadiran saksi saat penandatanganan bisa memperkuat pembuktian di kemudian hari, meskipun tidak wajib untuk sahnya perjanjian secara umum (kecuali ditentukan lain oleh undang-undang atau perjanjian itu sendiri).
Contoh Jenis-Jenis Perjanjian dan Poin Kunci Legalnya¶
Ada banyak sekali jenis surat perjanjian, tergantung kebutuhan. Beberapa contoh yang umum antara lain:
Perjanjian Sewa Menyewa¶
Poin kunci: Identitas jelas pemilik dan penyewa, deskripsi properti/barang yang disewa (alamat lengkap, kondisi), jangka waktu sewa (tanggal mulai dan berakhir), besaran biaya sewa dan jadwal pembayarannya, kewajiban perawatan, aturan penggunaan properti/barang, dan kondisi pengembalian atau perpanjangan sewa. Pastikan identitas pemilik jelas adalah pemilik sah atau yang berhak menyewakan.
Perjanjian Hutang Piutang¶
Poin kunci: Identitas pemberi dan penerima pinjaman, jumlah pokok pinjaman (dalam angka dan huruf), tingkat bunga (jika ada dan tidak melanggar batas legal), jadwal pembayaran cicilan (pokok dan bunga), tanggal jatuh tempo, jaminan/agunan (jika ada, deskripsikan dengan jelas), dan sanksi/konsekuensi jika terjadi wanprestasi (gagal bayar). Pastikan jumlah pinjaman dan cara pengembaliannya sangat rinci.
Perjanjian Kerjasama (MoU/PKS)¶
Poin kunci: Latar belakang dan tujuan kerjasama, ruang lingkup kerjasama (kegiatan apa saja yang dilakukan), peran dan tanggung jawab masing-masing pihak, kontribusi (modal, tenaga, aset), pembagian keuntungan/kerugian, jangka waktu kerjasama, mekanisme pengambilan keputusan, dan cara pengakhiran kerjasama. Perjanjian ini seringkali diawali dengan Memorandum of Understanding (MoU) yang sifatnya lebih umum, lalu ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang lebih detail.
Perjanjian Jual Beli¶
Poin kunci: Identitas penjual dan pembeli, deskripsi objek jual beli (barang, tanah, kendaraan, dll.) selengkap mungkin, harga yang disepakati, cara pembayaran (tunai, cicilan, termin), kapan dan di mana serah terima barang/dokumen akan dilakukan, dan garansi (jika ada). Untuk objek tertentu seperti tanah, jual beli harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan Akta Jual Beli (AJB) agar sah secara hukum pertanahan.
Perjanjian Kerja¶
Poin kunci: Identitas pemberi kerja dan karyawan, jabatan/posisi, deskripsi pekerjaan/tugas, lokasi kerja, jangka waktu perjanjian (untuk PKWT/Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), besaran gaji dan tunjangan, jam kerja, hak cuti, peraturan perusahaan, dan ketentuan pengakhiran hubungan kerja. Perjanjian kerja diatur secara spesifik oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan, jadi ada format dan ketentuan wajib yang harus diikuti.
Masing-masing jenis perjanjian ini punya kekhasan sendiri, tapi prinsip syarat sah Pasal 1320 KUHPerdata tetap berlaku untuk semuanya.
Tips Praktis Menyusun dan Menggunakan Perjanjian yang Kuat¶
Membuat perjanjian itu butuh ketelitian. Ini dia beberapa tips supaya perjanjianmu kuat dan minim masalah:
- Gunakan Bahasa yang Jelas dan Lugas: Hindari jargon teknis yang sulit dipahami, gunakan kalimat yang singkat dan padat, serta pastikan makna setiap kata atau frasa tidak ganda. Jika ada istilah khusus, berikan definisinya.
- Pastikan Semua Poin Penting Tercakup: Jangan sampai ada kesepakatan lisan yang tidak masuk ke dalam dokumen tertulis. Semua yang krusial harus tercatat. Lakukan pengecekan ulang (double-check) setelah draf selesai.
- Libatkan Pihak yang Berkompeten: Untuk perjanjian yang kompleks, bernilai besar, atau berisiko tinggi, sangat disarankan berkonsultasi dengan notaris atau pengacara. Mereka bisa membantu menyusun perjanjian yang kuat, sesuai hukum, dan melindungi kepentinganmu secara maksimal. Notaris wajib untuk beberapa jenis perjanjian (misal: akta pendirian perusahaan, perjanjian utang dengan hipotik/jaminan fidusia).
- Periksa Identitas Para Pihak: Jangan ragu meminta fotokopi KTP atau dokumen legalitas perusahaan. Cocokkan wajah di KTP dengan orangnya. Untuk perusahaan, periksa akta pendirian, SK Menkumham, dan kewenangan direksi/wakil yang tanda tangan.
- Cantumkan Tanggal dan Tempat Pembuatan: Ini penting untuk menentukan mulai berlakunya perjanjian dan yurisdiksi pengadilan jika ada sengketa.
- Bubuhkan Materai Secukupnya: Pastikan jumlah materai yang digunakan sesuai dengan peraturan yang berlaku saat perjanjian ditandatangani. Tempelkan dan bubuhkan tanda tangan atau paraf di atas materai.
- Simpan Dokumen Asli dengan Baik: Setelah ditandatangani oleh semua pihak, simpan dokumen asli perjanjian di tempat yang aman dan mudah diakses jika sewaktu-waktu diperlukan. Berikan salinan yang ditandatangani kepada semua pihak terkait.
Fakta Menarik Seputar Perjanjian di Indonesia¶
- Perjanjian Lisan itu Sah? Iya, secara prinsip hukum perdata kita (KUHPerdata), perjanjian lisan itu sah asalkan memenuhi 4 syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Hukum tidak mewajibkan semua perjanjian dalam bentuk tertulis, kecuali undang-undang menentukan lain (misal: perjanjian hibah benda tidak bergerak, perjanjian perdamaian, akta pendirian PT). Namun, masalahnya adalah pembuktian di pengadilan. Perjanjian lisan sulit dibuktikan jika salah satu pihak menyangkalnya. Makanya, perjanjian tertulis sangat direkomendasikan.
- Kekuatan Materai: Banyak yang salah kaprah mengira materai membuat perjanjian jadi sah. Materai tidak membuat perjanjian sah (validitas ditentukan Pasal 1320), tapi membuat perjanjian bisa digunakan sebagai alat bukti sempurna di pengadilan. Tanpa materai, perjanjian tetap ada, tapi statusnya hanya sebagai bukti permulaan tulisan, dan harus dimateraikan terlebih dahulu (nazegelen) jika ingin diajukan ke pengadilan.
- Asas Kebebasan Berkontrak: Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata). Artinya, kamu bebas untuk membuat perjanjian apapun, dengan siapapun, dan menentukan isinya, asalkan tidak melanggar hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini memberikan fleksibilitas luar biasa, tapi juga menuntut kehati-hatian dalam merumuskan isi perjanjian.
- “Pacta Sunt Servanda”: Ini asas hukum fundamental yang artinya “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Begitu kamu menandatangani perjanjian yang sah, perjanjian itu mengikatmu seperti undang-undang, dan kamu wajib mematuhinya.
Membuat surat perjanjian yang sah secara hukum memang butuh pemahaman dan ketelitian. Ini adalah investasi waktu dan tenaga yang akan sangat berharga jika di kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jangan pernah menyepelekan pentingnya dokumen ini, terutama untuk urusan yang punya konsekuensi finansial atau legal yang signifikan. Perjanjian yang baik adalah fondasi hubungan yang kokoh, baik itu bisnis maupun personal.
Bagaimana pengalamanmu dalam membuat atau menggunakan surat perjanjian? Pernahkah kamu menghadapi masalah karena perjanjian yang kurang kuat? Bagikan ceritamu di kolom komentar!
Posting Komentar